Sunday, July 21, 2019

Perkembangan

Perkembangan CADANGAN DEVISA, FINANCIAL DEEPENING DAN STABILISASI NILAI TUKAR RIIL RUPIAH AKIBAT GEJOLAK NILAI TUKAR PERDAGANGAN Abstract These papers analyze the influence of the international reserves and the financial deepening on the real exchange rate stabilization due to the terms of trade shock. The analysis covers 6 countries with quarterly data (Indonesia, United States, Japan, Hong Kong, Singapore and South Korea during the period of 2000.1 to 2006.4). This research utilizes the international reserves mitigation and the financial deepening mitigation model. This result shows that the reserves mitigation terms variable plays important role as the real exchange rate stabilization regarding the terms of trade shock in a common sample, but not in specific country. The mitigation effect associated with international reserves (buffer stock effect) applies only in South Korea. While for United State and Indonesia mitigation effect associated with international reserves opposite way. Even for Hong Kong, Japan and Singapore, the mitigation effect does not have significant induces real exchange rate stability. Furthermore, the financial deepening mitigation terms variable cannot be treated as the real exchange rate stabilization in a common sample, but not specific country. The mitigation effect associated with financial deepening (shock absorber effect) applies only in United States and Indonesian economic, while for South Korea the mitigation effect associated with the financial deepening works in opposite way. Even for Hong Kong, Japan and Singapore, the mitigation effect of financial deepening does not have significant induces real exchange rate stability. In Indonesian economic, the financial deepening is more effective than the international reserve to create the real exchange rate stability. The shock absorber effect in Indonesia is more effective than the buffer stock effect to stabilize the real exchange rate due to the terms of trade shock. JEL Classification: E44, F31, F32 Keywords: International reserves, buffer stock, financial deepening, shock absorber, terms of trade shock, real exchange rate. I. PENDAHULUAN Perkembangan ekonomi Indonesia dewasa ini menunjukkan semakin terintegrasi dengan perekonomian dunia. Hal ini merupakan konsekuensi dari dianutnya sistem perekonomian terbuka yang dalam aktivitasnya selalu berhubungan dan tidak lepas dari fenomena hubungan internasional. Adanya keterbukaan perekonomian ini memiliki dampak pada perkembangan neraca pembayaran suatu negara yang meliputi arus perdagangan dan lalu lintas modal terhadap luar negeri suatu negara. Salah satu bentuk aliran modal yang masuk ke dalam negeri yaitu dapat berupa devisa yang berasal dari perdagangan internasional yang dilakukan oleh negara tersebut. Meningkatnya ekspor suatu negara akan membawa keuntungan yaitu kenaikan pendapatan, kenaikan devisa, transfer modal dan makin banyaknya kesempatan kerja. Demikian pula meningkatnya impor suatu negara akan memberikan lebih banyak alternatif barang-barang yang dapat dikonsumsi dan terpenuhinya kebutuhan bahan-bahan baku penolong serta barang modal untuk kebutuhan industri di negara-negara tersebut dan transfer teknologi. Perdagangan internasional akan terjadi pada suatu perbandingan harga tertentu yaitu antara harga ekspor dan harga impor yang sering disebut nilai tukar perdagangan (terms of trade, TOT). Nilai tukar perdagangan besar sekali pengaruhnya terhadap kesejahteraan suatu bangsa dan juga sebagai pengukur posisi perdagangan luar negeri suatu bangsa. TOT yang disimbolkan dengan N dihitung sebagai perbandingan antara indeks harga ekspor (Px) dengan indeks harga impor (Pm) atau N = Px/Pm (Nopirin 1992: 71). Kenaikan N menunjukkan perbaikan di dalam Terms of Trade. Perbaikan terms of trade ini dapat timbul sebagai akibat nilai perubahan harga ekspor yang lebih besar realatif terhadap harga impor. Perbaikan terms of trade akan meningkatkan pendapatan negara tersebut dari perdagangan demikian sebaliknya. Selain mempengaruhi pendapatan negara, pergerakan TOT juga mempengaruhi nilai tukar riil, (Mankiw, 2000: 195). Upaya untuk mengatasi pengaruh memburuknya terms of trade terhadap nilai tukar ini dapat menggunakan cadangan devisa (international reserves) yang dimiliki negara yang bersangkutan. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Aizenman and Crichton (2006), menyebutkan bahwa negara-negara yang mengekspor barang ­barang sumberdaya alam memiliki volatilitas terms of trade yang 3 kali lebih volatil dibandingkan negara-negara yang mengekspor barang manufaktur. Selain besaran pergerakan TOT, volatilitas ini juga mempengaruhi nilai tukar riil suatu negara Pada dasarnya international reserves berfungsi sebagai buffer stock untuk berjaga-jaga guna menghadapi ketidakpastian keadaan yang akan datang. Sehingga, apabila terjadi depresiasi nilai tukar riil akibat memburuknya terms of trade maka disitulah international reserves berfungsi sebagai penstabil. Perbaikan terms of trade akan meningkatkan aliran modal masuk sehingga akan kembali mendorong apresiasi nilai tukar riil. Seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Rajan dan Siregar (2004), diperoleh bahwa reserves merupakan kunci utama dari suatu negara untuk dapat menghindari krisis ekonomi dan keuangan. Terutama bagi negara-negara dengan perekonomian yang terbuka dimana aliran modal internasional adalah volatil atau rentan terhadap terjadinya shock yang merambat dari negara lain (contagion effect). Bahwa dengan melihat pengalaman krisis yang terjadi pada tahun 1997, negara yang memiliki reserves yang besar dapat menghindari contagion effect dari krisis dengan lebih baik dibandingkan dengan negara yang memiliki reserves yang kecil. Upaya untuk mengatasi gejolak nilai tukar akibat terms of trade shock selain dengan international reserves juga dapat diatasi dengan mengukur financial deepening (kedalaman sektor keuangan) suatu negara. Financial deepening diukur melalui rasio M2 dibagi GDP (Gross Domestic Product). Penggunaan rasio ini dikarenakan merupakan rasio paling umum yang digunakan untuk mengukur perkembangan sektor keuangan suatu negara. Hasil rasio ini akan menunjukkan rasio penggunaan M2 untuk menghasilkan setiap GDP. Semakin kecil dalam rasio tersebut menunjukkan semakin dangkal sektor keuangan suatu negara dan semakin besar rasio tersebut menunjukkan sektor keuangan negara tersebut semakin dalam. Suatu negara dengan rasio financial deepening yang besar cederung mengurangi peran international reserves sebagai penstabil nilai tukar riil. Hal ini dikarenakan negara dengan rasio financial deepening yang besar dapat dikatakan telah memiliki pertumbuhan ekonomi yang sudah baik sehingga negara tersebut dapat mengatasi gejolak nilai tukar akibat terms of trade shock dengan penyesuaian otomatis melalui mekanisme pasar, Aizenman dan Crichton (2006). Karakteristik Indonesia sebagai à ¢Ã‹â€ Ã¢â‚¬  small open economyà ¢Ã‹â€ Ã¢â‚¬   yang menganut sistem devisa bebas dan sistem nilai tukar mengambang (free floating) menyebabkan pergerakan nilai tukar di pasar rentan oleh pengaruh faktor ekonomi dan non-ekonomi. Untuk mengurangi gejolak nilai tukar yang berlebihan maka pelaksanaan intervensi menjadi sangat penting terutama untuk menjaga stabilitas nilai tukar pada saat tertentu yang benar-benar dibutuhkan agar dapat memberikan kepastian bagi dunia usaha. Salah satu bentuk intervensi itu adalah dengan menggunakan international reserves dan ini sejalan dengan argumentasi Aizenman,dkk (2004) bahwa suatu negara yang menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas akan cenderung mengurangi permintaan international reserves-nya. Di Indonesia, Bank Indonesia sejauh ini berupaya untuk mengoptimalkan berbagai fasilitas atau insentif agar semakin banyak eksportir yang bersedia menyerahkan devisa hasil ekspornya ke Bank Indonesia (Goeltom dan Zulverdi, 1998). Bahkan dalam masa krisis pasar modal global 2008 ini, Bank Indonesia mewajibkan pengguna valas untuk melaporkan peruntukannya jika melebihi US$10.000 per bulan. Permasalahan mendasar yang diangkat dalam penelitian ini diantaranya: 1) Bagaimanakah pengaruh international reserves dalam perannya sebagai penstabil nilai tukar riil akibat terms of trade shock. 2) Bagaimanakah pengaruh financial deepening dalam perannya sebagai penstabil nilai tukar riil akibat terms of trade shock. Kedua permasalahan tersebut akan dibahas bagaimanakah pengaruhnya di keseluruhan obyek penelitian dan juga secara spesifik setiap Negara untuk memperoleh perbandingan antar Negara, khususnya antara Indonesia dengan Negara-negara mitra dagang utama (Amerika serikat, Jepang, Singapura, Korea Selatan dan Hongkong). II. TEORI II.1. International Reserves ≈The need of a central bank for international reserves is similar to an individual »s desire to hold cash balances (currency and checkable deposits)à ¢Ã‹â€ Ã¢â‚¬   (Carbaugh, 2004: 513). Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa kebutuhan international reserves bagi suatu negara mempunyai tujuan dan manfaat seperti halnya manfaat kekayaan bagi suatu individu. Motif kepemilikan international reserves dapat disamakan dengan motif seseorang untuk memegang uang yaitu untuk motif transaksi, motif berjaga-jaga dan motif spekulasi. Motif transaksi antara lain untuk membiayai transaksi impor yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mendukung proses pembangunan, motif berjaga-jaga berkaitan dengan mengelola nilai tukar, serta motif yang ketiga adalah untuk lebih memenuhi kebutuhan diversifikasi kekayaan (memperoleh return dari kegiatan investasi dengan international reserves (Gandhi, 2006: 1). Jhingan (2001) menyatakan bahwa ≈International liquidity (generally used as a synonym for international reserves) is defined as the aggregate stock of internally acceptable assets held by the central bank to settle a deficit in a country »s balance of payments. International reserves merupakan asset dari bank sentral yang dipergunakan untuk mengatasi ketidakseimbangan neraca pembayaran. Definisi tersebut senada dengan konsep International Reserves and Foreign Currency Lliquidity (IRFCL) yang dikeluarkan oleh IMF bahwa international reserves didefinisikan sebagai seluruh aktiva luar negeri yang dikuasai oleh otoritas moneter dan dapat digunakan setiap waktu guna membiayai ketidakseimbangan neraca pembayaran atau dalam rangka stabilitas moneter 3. 3 Guidelines for International Reserves and Foreign Currency Liquidity, IMF, 2001. Sedangkan menurut Salvatore (1996: 513), bahwa international reserves merupakan asset-asset likuid dan berharga tinggi yang dimiliki suatu negara yang nilainya diakui atau diterima oleh masyarakat internasional dan dapat dipakai sebagai alat-alat pembayaran yang sah bagi pemerintah atau negara yang merupakan pemiliknya dalam mengadakan transaksi-transaksi atau pembayaran internasional. Selain untuk tujuan stabilisasi nilai tukar, terkait dengan neraca pembayaran international reserves dapat digunakan untuk membiayai impor dan membayar kewajiban luar negeri. Besar kecilnya akumulasi international reserves suatu negara biasanya ditentukan oleh kegiatan perdagangan (ekspor dan impor) serta arus modal negara tersebut. Kecukupan international reserves ditentukan oleh besarnya kebutuhan impor dan sistem nilai tukar yang digunakan. Dalam sistem nilai tukar yang mengambang bebas, fungsi international reserves adalah untuk menjaga stabilitas nilai tukar hanya terbatas pada tindakan untuk mengurangi fluktuasi nilai tukar yang terlalu tajam. Oleh karena itu, international reserves yang dibutuhkan tidak perlu sebesar international reserves yang dibutuhkan apabila negara tersebut mengadopsi sistem nilai tukar tetap. Wujud utama dari international reserves adalah emas, hard currencies yang pada umumnya dalam bentuk empat jenis mata uang utama yang dianggap paling berpengaruh di dunia, yaitu: US dollar, Euro, Poundsterling dan Yen serta surat-surat berharga terbitan IMF yang biasa disebut sebagai Special Drawing Rights (SDRs). Penjelasan lebih rinci mengenai komponen international reserves sebagaimana dijelaskan oleh Gandhi (2006: 4). Berkaitan dengan sifat dari rezim nilai tukar (sistem nilai tukar tetap, mengambang dan mengambang terkendali) di negara yang menganut sistem nilai tukar tetap pada umumnya memerlukan international reserves yang besar untuk mempertahankan nilai tukar pada level yang ditetapkan. Hal ini dikarenakan oleh ketakutan negara itu akan ketidakpastian dalam sistem nilai tukar mengambang bebas yang diterapkannya. Sehingga, sebagai upaya untuk berjaga√jaga dalam menghadapi fluktuasi nilai tukarnya otoritas moneter negara tersebut membutuhkan international reserves dalam jumlah yang dianggap memadai guna stabilisasi nilai tukar. Pada sistem nilai tukar mengambang, terjadinya pergerakan nilai tukar dapat diatasi sendiri oleh mekanisme pasar, sehingga jumlah international reserves yang dibutuhkan tidak sebanyak yang dibutuhkan oleh suatu negara dengan sistem nilai tukar tetap yang rigid. Menurut Carbaugh (2004: 516), tujuan utama dari international reserves adalah untuk memfasilitasi pemerintah dalam melakukan intervensi pasar sebagai upaya untuk menstabilkan nilai tukar. Sehingga, suatu negara dengan aktivitas stabilisasi yang aktif memerlukan jumlah international reserves yang besar pula. Keterbukaan perekonomian suatu negara tercermin dengan semakin besarnya transaksi perdagangan dan aliran modal antar negara. Semakin terbuka perekonomian suatu negara kebutuhan international reserves-nya cenderung semakin besar guna membiayai transaksi perdagangan. Parameter yang biasa dipakai untuk mengukur kecukupan international reserves sehubungan dengan transaksi perdagangan antar negara adalah marginal propensity to import. Semakin besar angka propensity tersebut menunjukkan semakin besarnya kebutuhan international reserves yang harus dimiliki dan semakin kecil angka propensity tersebut menunjukkan semakin kecilnya kebutuhan international reserves yang harus dimiliki (Gandhi, 2006: 11). Dengan tersedianya international reserves yang mencukupi maka apabila suatu negara mengahadapi kondisi terms of trade yang buruk yang kemudian akan berpengaruh pada nilai tukar riilnya maka international reserves dapat berperan sebagai absorber. II.2. Nilai Tukar Perdagangan (Terms of Trade) Terdapat beberapa konsep tentang TOT. Konsep pertama merupakan konsep yang paling umum digunakan, yaitu net barter terms of trade atau juga dapat disebut commodity terms of trade. Net barter terms of trade adalah perbandingan antara indeks harga ekspor dengan indeks harga impor. Kenaikan ekspor menunjukkan perbaikan di dalam nilai tukar perdagangan, artinya untuk sejumlah tertentu ekspor dapat diperoleh jumlah impor yang lebih banyak dengan melalui hubungan harga (Nopirin, 1995: 71). Forumulasinya dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut: (III.1) Dimana, Px adalah Indeks harga ekspor; Pm adalah Indeks harga impor; dan 100 adalah Indeks tahun dasar. Bila N >100 atau terjadi kenaikan net barter terms of trade maka berarti terjadi perkembangan perdagangan luar negeri yang positif karena dengan nilai ekspor tertentu diperoleh nilai impor yang lebih besar (Hady, 2001:77). Konsep kedua adalah gross barter terms of trade, merupakan perbandingan antara indeks volume impor dengan indeks volume ekspor. Konsep ini menjadi tidak penting karena kurang memberikan gambaran tentang perubahan harga. Oleh karena itu, apabila konsep terms of trade tanpa diberi penjelasan apa-apa maka yang dimaksud adalah konsep net barter terms of trade. Konsep ketiga adalah income terms of trade yang dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut : (III.2) Dimana: N adalah net barter terms of trade; Px adalah Indeks harga ekspor; Pm adalah Indeks harga impor; dan Qx adalah Indeks kuantitas ekspor. Berdasarkan konsep ini, kenaikan income terms of trade menunjukkan bahwa suatu negara dapat memperoleh jumlah impor yang lebih besar dengan dasar kenaikan nilai ekspornya. Bagi negara-negara yang sedang berkembang, selain variabel harga juga sangat penting untuk menilai terms of trade ini dengan mempertimbangkan volume ekspornya karena kenaikan harga ekspor yang tinggi mungkin diimbangi dengan turunnya volume ekspor. Perbaikan TOT dapat timbul sebagai akibat: (1) harga ekspor naik sedang harga impor tetap; (2) harga ekspor tetap sedang harga impor turun; (3) harga ekspor naik dengan proporsi yang lebih besar daripada naiknya harga impor; (4) harga ekspor turun dengan proporsi yang lebih kecil daripada turunnya harga impor. Mekanisme bagaimana TOT dapat berpengaruh pada nilai tukar riil adalah dapat dilihat dari sebuah mekanisme sederhana yaitu perbaikan TOT akan meningkatkan aliran modal masuk yang berasal dari perdagangan yang selanjutnya dapat mengapresiasi nilai tukar riil dan sebaliknya. Memburuknya TOT akan mengakibatkan permintaan valuta asing meningkat sehingga akan mendepresiasi nilai tukar riil. Terkait dengan jenis produksi yang diperdagangkan, maka secara umum nilai tukar perdagangan komoditi (commodity terms of trade atau net barter terms of trade) negara ­negara berkembang cenderung mengalami kemerosotan dari waktu ke waktu. Salah satu penyebab utamanya adalah sebagian besar atau bahkan semua kenaikan produktivitas yang terjadi di negara-negara maju dialirkan ke para pekerjanya dalam bentuk upah dan pendapatan yang lebih tinggi, sedangkan sebagian besar atau seluruh kenaikan produktivitas yang berlangsung di negara-negara berkembang diwujudkan sebagai harga-harga produk yang lebih murah (Salvatore, 1996 : 431). II.3. Nilai Tukar Riil (Real Exchange Rate) dan Pasar Valas Setiap negara memiliki sebuah mata uang yang menunjukkan harga-harga barang dan jasa. Pengertian nilai tukar valuta asing adalah ≈Exchange rate is the price of one nation »s money in terms of another nation »s money.à ¢Ã‹â€ Ã¢â‚¬   ≈The nominal exchange rate is usually called the exchange rateà ¢Ã‹â€ Ã¢â‚¬  . Menurut definisi tersebut nilai tukar diartikan sebagai harga suatu mata uang terhadap mata uang negara lain. Nilai tukar nominal biasa disebut nilai tukar (exchange rate) (Pugel, 2004). Menurut Mankiw, nilai tukar nominal adalah harga relatif dimana seseorang dapat memperdagangkan mata uang suatu negara dengan mata uang lainnya (Mankiw, 2000: 200). Dengan menggunakan suatu indeks harga untuk Indonesia (P), sebuah indeks harga untuk harga-harga di luar negeri (P*) dan nilai tukar nominal antara rupiah dengan mata uang asing (e), akan dapat diukur nilai tukar riil keseluruhan antara Indonesia dengan negara-negara lain sebagai berikut : Nilai Tukar Riil = (e x P) / P* (III.3) Terdapat paling tidak 3 faktor utama yang mempengaruhi permintaan valuta asing. Pertama, faktor pembayaran impor. Semakin tinggi impor barang dan jasa, maka semakin besar permintaan terhadap valuta asing sehingga nilai tukar akan cenderung melemah. Kedua, faktor aliran modal keluar (capital outflow). Semakin besar aliran modal keluar, maka semakin besar permintaan valuta asing dan pada kelanjutannya akan memperlemah nilai tukar. Aliran modal keluar meliputi pembayaran hutang penduduk Indonesia (baik swasta dan pemerintah) kepada pihak asing dan penempatan dana penduduk Indonesia ke luar negeri. Ketiga , kegiatan spekulasi. Semakin banyak kegiatan spekulasi valuta asing yang dilakukan oleh spekulan, maka semakin besar permintaan terhadap valuta asing sehingga memperlemah nilai tukar mata uang lokal terhadap mata uang asing. Sementara itu, penawaran valuta asing dipengaruhi oleh dua faktor utama. Pertama, faktor penerimaan hasil ekspor. Semakin besar volume penerimaan ekspor barang dan jasa, maka semakin besar jumlah valuta asing yang dimiliki oleh suatu negara dan pada lanjutannya nilai tukar terhadap mata uang asing cenderung menguat atau apresiasi. Kedua, faktor aliran modal masuk (capital inflow). Semakin besar aliran modal masuk, maka nilai tukar akan cenderung semakin menguat. Aliran modal masuk tersebut dapat berupa penerimaan hutang luar negeri, penempatan dana jangka pendek oleh pihak asing (portofolio investment) dan investasi langsung pihak asing (foreign direct investment) (Simorangkir dan Suseno, 2004: 6). II.4. Financial Deepening Ukuran dari perkembangan intermediasi keuangan biasanya digunakan pengukuran indikator melalui kuantitas, kualitas, dan efisiensi dari jasa intermediasi keuangan (Calderon, 2002:5). Terdapat beberapa indikator untuk mengetahui seberapa besar tingkat perkembangan sektor keuangan salah satu diantaranya adalah rasio antara aset keuangan dalam negeri terhadap GDP (Muklis, 2005: 2). Menurut King dan Levine (1993), ≈Financial deepening means an increase in the money supply of financial assets in the economy, it is important to develop some measures of the widest range of financial assets, including money.à ¢Ã‹â€ Ã¢â‚¬   Selain itu, King dan Levine merancang 4 ukuran dalam perhitungan perkembangan sektor keuangan. Pertama, ukuran dari kedalaman sektor keuangan adalah rasio dari kewajiban lancar (liquid liabilities) dari sistem keuangan terhadap GDP. Kewajiban lancar dalam hal ini adalah M3, namun apabila M3 tidak bisa didapatkan maka digunakan M2. Hal ini sejalan dengan IMF dalam database International Financial Statistic dan juga Slangor (1991:11). Kedua , adalah rasio dari deposit money bank domestic asset dibagi dengan deposit money bank domestic asset ditambah dengan central bank domestic asset yang menggambarkan institusi keuangan yang lebih spesifik. Ketiga , rasio kredit dari sektor swasta non keuangan dibagi dengan total kredit domestik. Keempat, adalah rasio kredit sektor swasta non-keuangan dibagi dengan GDP. Dua yang terakhir ini menggambarkan ukuran kuangan sektor dan tingkat pinjaman publik (King dan Levine, 1993: 4). Penggunaan rasio M2 terhadap GDP sebagai indikator financial deepening juga dibenarkan oleh King dan Levine, (1993: 5). Semakin kecil rasio tersebut maka semakin dangkal sektor keuangan suatu negara. Suatu negara dikatakan memiliki sektor keuangan yang dalam apabila M2 > 20% dari GDP dan dangkal apabila M2 III. METODOLOGI Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan merupakan data panel, mencakup periode 2000:Q1 2006:Q4 dan 6 negara yakni Indonesia dan 5 negara mitra dagang utamanya yaitu; Amerika Serikat, Jepang, Hongkong, Singapura dan Korea Selatan. Sumber utama data berasal dari International Financial Statistic yang diterbitkan oleh IMF. Teknik estimasi data panel digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh international reserves yang digunakan dalam rangka stabilisasi nilai tukar akibat terms of trade shock. Selain itu model ini juga diperunakan untuk melihat bagaimana peran financial deepening suatu negara dalam stabilisasi nilai tukar ini. Model persamaan yang diestimasi, dikembangkan dari penelitian (Aizenman dan Crichton, 2006), yakni: 1. Model international reserves mitigation terms : (III.4) 2. Model financial deepening mitigation terms : Dimana : RER adalah nilai tukar riil (Real Exchange Rate); ETOT adalah efektifitas nilai tukar perdagangan yang dinilai dari keterbukaan perdagangan (Trade Openness) yang dikalikan dengan nilai tukar perdagangan (Terms of Trade); RES adalah cadangan internasional (International reserves); FD adalah kedalaman sektor keuangan (Financial Deepening); i adalah crossection indentification; t adalah time series identification; ÃŽ µit adalah Koefisien pengganggu (error terms) 4. Varian pertama dari teknik estimasi data panel adalah pendekatan pooled least square (PLS) yang secara sederhana menggabungkan seluruh data time series dan cross section dan kemudian mengestimasi model dengan menggunakan metode ordinary least square (OLS) 5. Pendekatan kedua adalah fixed effect model (FEM) yang memperhitungkan kemungkinan perbedaan intercept antar individu yang ditunjukkan dengan kehadiran ÃŽ ±i pada persamaan (III.6). Secara teknis, model dengan fixed effect menambahkan dummy variables sebanyak N-1 buah ketika terdapat N individu. Pendekatan ketiga adalah random effect model (REM) yang dapat memperbaiki efisiensi proses least square dengan memperhitungkan error dari time series dan cross section. Berbeda dengan FEM, model REM memperlakukan intercept sebagai random variable dengan rata-rata ÃŽ ± dengan stokastik terms ÃŽ µit. Model random effect adalah variasi dari estimasi generalized least square (GLS). Model data panel untuk masing-masing varian teknik tersebut adalah sebagai berikut (Gujarati, 2003: 640): a. Pooled Least Square (III.6) b. Fixed Effect (III.7) c. Random Effect (III.8) Pada dasarnya penggunaan metode data panel memiliki beberapa keunggulan (Widarjono, 2005: 254). Pertama , panel data mampu memperhitungkan heterogenitas individu secara eksplisit dengan mengijinkan variabel spesifik individu. Kemampuan mengontrol heterogenitas 4 Definisi operasional variabel lebih detail dapat dilihat dilampiran IV.A. 5 Lihat: Baltagi, 2002 ; Gujarati, 2003 ; Maddala ; 1993 ; Pindyck dan Rubinfeld, 1998. individu ini pada gilirannya menjadikan data panel dapat digunakan untuk menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks. Kedua, jika efek spesifik signifikan berkorelasi dengan variabel penjelas lainnya, penggunaan panel data akan mengurangi masalah omitted variables secara substansial. Ketiga , data panel mendasarkan diri pada observasi cross section yang berulang-ulang (time series), sehingga metode data panel cocok untuk digunakan sebagai study of dynamic adjustment. Keempat, tingginya jumlah observasi memiliki implikasi pada data yang lebih informatif, lebih variatif, kolinearitas antar variabel yang semakin berkurang dan peningkatan derajat kebebasan (degree of freedom), sehingga dapat diperoleh hasil estimasi yang lebih efisien. Kelima, data panel dapat digunakan untuk mempelajari model-model perilaku yang kompleks. Keenam, data panel dapat meminimalisir bias yang mungkin ditimbulkan oleh agregasi data individu. Keunggulan-keunggulan tersebut diatas memiliki implikasi pada tidak diperlukannya pengujian asumsi klasik dalam model data panel, sesuai apa yang ada dalam beberapa literatur yang digunakan dalam penelitian ini6. Dalam estimasi selanjutnya sebagai persyaratan estimasi regresi data panel, perlu di pilih penggunaan antara pooled least square, random effect model atau fixed effect model. Ketiga model tersebut akan berbeda dalam intrepetasi selanjutnya sehingga perlu dilakukan pemilihan model untuk memperoleh estimasi yang efisien sesuai dengan penggunaan regresi data panel. Pertama uji statistik F digunakan untuk memilih antara metode PLS tanpa variabel dummy atau memilih Fixed Effect. Kedua uji Lagrange Multiplier (LM) digunakan untuk memilih antara OLS tanpa variabel dummy atau memilih Random Effect. Terakhir , untuk memilih antara Fixed Effect Model (FEM) atau Random Effect Model (REM) digunakan uji yang dikemukakan oleh Hausman. Jika data time series lebih besar dibandingkan data cross section maka teknik efek acak (REM) kurang tepat atau tidak dapat dipakai untuk mengestimasi suatu model (Telisa, 2004:30)7. Dalam model penelitian ini teknik Random Effect Model (REM) tidak dapat digunakan, karena pada penelitian ini jumlah time series (28 time series) lebih besar dibandingkan dengan jumlah cross section (6 cross section). Oleh sebab itu pemilihan teknik estimasi dalam penelitian ini hanya memilih diantara dua teknik estimasi yaitu PLS (Pooled Least Square) atau FEM (Fixed Effect Model). Hasil pengujian menyarankan penggunaan Model Fixed Effect (Unrestricted) dalam penelitian ini. 6 Lihat: Maddala, 1998; Pindyck Rubinfeld, 1991; Greene, 2003; Gujarati, 2003; Widarjono, 2005. 7 Ibid IV. HASIL DAN ANALISA IV.1. Model International Reserves Mitigation Terms Berdasarkan hasil pengolahan data dalam tabel III.1. koefisien determsinasi model International Reserves Mitigation Terms untuk keseluruhan negara adalah sebesar 0.999602 sedangkan untuk estimasi spesifik masing-masing negara adalah sebesar 0.999845. Artinya variasi variabel independen dalam model tersebut mampu menjelaskan variasi dari variabel dependen kedua model tersebut masing-masing sebesar 99,96% dan 99,98%. Secara simultan, variabel-variabel yang digunakan dalam estimasi keseluruhan maupun estimasi spesifik memiliki pengaruh yang signifikan, kondisi tersebut dapat diketahui dari nilai Fyang masing-masing sebesar 57441.05 dan 57032.28. Nilai tersebut melebihi nilai kritis yang dipersyaratkan sesuai dengan F-tabel hingga taraf signifikansi 1%. Dengan demikian nilai F> Fyang berarti H ditolak. Secara parsial sebagaimana terdapat dalam tabel dibawah menunjukkan pengaruh masing-masing variabel bebas yang signifikan terhadap variabel nilai tukar riil (variabel dependen) pada estimasi secara keseluruhan. Namun untuk estimasi spesifik masing-masing negara hanya variabel effective terms of trade Indonesia, reserves mitigation terms Indonesia, Korea dan Amerika yang signifikan secara statistik mempengaruhi vriabel real exchange rate. Sumber: Hasil pengolahan Keterangan: * = Signifikan 1%; **=Signifikan 5%. Dari estimasi secara keseluruhan dalam tabel diatas terlihat bahwa pengaruh effective terms of trade (ETOT) terhadap real exchange rate (RER) adalah positif. Temuan empiris ini tidak sesuai dengan teori yang digunakan dalam penelitian, yaitu diharapkan bernilai negatif. Dengan asumsi bahwa peningkatan real exchange rate merupakan depresiasi nilai tukar domestik atau apresiasi nilai tukar mitra dagang, maka peningkatan pada effective terms of trade suatu negara terhadap negara-negara mitra dagangnya cenderung meningkatkan (depresiasi) real exchange rate. Rata-rata effective terms of trade keseluruhan negara obyek penelitian adalah 1,82, dengan perubahan pada real exchange rate rata-rata apresiasi sebesar 0,04%. Berdasarkan hasil estimasi menunjukkan bahwa elastisitas real exchange rate terhadap effective terms of trade shock ialah kenaikan effective terms of trade sebesar 1% mempengaruhi real exchange rate sebesar 0.28%. Dapat diartikan bahwa perbaikan effective terms of trade akan menyebabkan mata uang luar negeri mengalami apresiasi terhadap mata uang dalam negeri. Kondisi demikian menggambarkan bahwa keterbukaan perdagangan memiliki sisi negatif yaitu kecenderungan untuk melemahkan nilai tukar suatu negara ketika terjadi penurunan kinerja perekonomian negara mitra dagang tersebut dan dengan dukungan trade openness dan effective terms of trade yang semakin meningkat. Kondisi ini secara aktual dapat digambarkan pada resesi global pada saat ini yang hampir tidak sedikitpun negara yang menuai imbas negatif. Hampir seluruh perekonomian dunia termasuk nilai tukarnya cenderung terdepresiasi dan perekonomian berjalan lambat. Ketidaksesuaian hasil ini dimungkinkan juga dikarenakan kekuatan pasar yang mempengaruhi fluktuasi nilai tukar. Aliran modal jangka pendek, aliran keuangan internasional baik dari pemerintah maupun swasta yang erat kaitannya dengan keterbukaan perekonomian suatu negara memungkinkan berpengaruh pada nilai tukar riil. Besaran (magnitude) effective terms of trade dalam mempengaruhi pasar nilai tukar dapat dikatakan terlalu kecil jika dibandingkan dengan varabel-variabel lain yang berkaitan dengan nilai tukar. Berdasarkan hasil estimasi dapat dikemukakan bahwa peningkatan atau perbaikan pada effective terms of trade suatu negara berdampak pada peningkatan (apresiasi) nilai tukar riil negara lain sebagai mitra dagang utamanya atau penurunan (depresiasi) nilai tukar pada negaranya sendiri. Dapat dikatakan pula bahwa perbaikan yang terjadi pada effective terms of trade suatu negara menguntungkan negara mitra dagangnya dari sisi nilai tukar, namun tidak untuk negaranya sendiri. Hal ini merupakan efek negatif keterbuk Perkembangan Perkembangan CADANGAN DEVISA, FINANCIAL DEEPENING DAN STABILISASI NILAI TUKAR RIIL RUPIAH AKIBAT GEJOLAK NILAI TUKAR PERDAGANGAN Abstract These papers analyze the influence of the international reserves and the financial deepening on the real exchange rate stabilization due to the terms of trade shock. The analysis covers 6 countries with quarterly data (Indonesia, United States, Japan, Hong Kong, Singapore and South Korea during the period of 2000.1 to 2006.4). This research utilizes the international reserves mitigation and the financial deepening mitigation model. This result shows that the reserves mitigation terms variable plays important role as the real exchange rate stabilization regarding the terms of trade shock in a common sample, but not in specific country. The mitigation effect associated with international reserves (buffer stock effect) applies only in South Korea. While for United State and Indonesia mitigation effect associated with international reserves opposite way. Even for Hong Kong, Japan and Singapore, the mitigation effect does not have significant induces real exchange rate stability. Furthermore, the financial deepening mitigation terms variable cannot be treated as the real exchange rate stabilization in a common sample, but not specific country. The mitigation effect associated with financial deepening (shock absorber effect) applies only in United States and Indonesian economic, while for South Korea the mitigation effect associated with the financial deepening works in opposite way. Even for Hong Kong, Japan and Singapore, the mitigation effect of financial deepening does not have significant induces real exchange rate stability. In Indonesian economic, the financial deepening is more effective than the international reserve to create the real exchange rate stability. The shock absorber effect in Indonesia is more effective than the buffer stock effect to stabilize the real exchange rate due to the terms of trade shock. JEL Classification: E44, F31, F32 Keywords: International reserves, buffer stock, financial deepening, shock absorber, terms of trade shock, real exchange rate. I. PENDAHULUAN Perkembangan ekonomi Indonesia dewasa ini menunjukkan semakin terintegrasi dengan perekonomian dunia. Hal ini merupakan konsekuensi dari dianutnya sistem perekonomian terbuka yang dalam aktivitasnya selalu berhubungan dan tidak lepas dari fenomena hubungan internasional. Adanya keterbukaan perekonomian ini memiliki dampak pada perkembangan neraca pembayaran suatu negara yang meliputi arus perdagangan dan lalu lintas modal terhadap luar negeri suatu negara. Salah satu bentuk aliran modal yang masuk ke dalam negeri yaitu dapat berupa devisa yang berasal dari perdagangan internasional yang dilakukan oleh negara tersebut. Meningkatnya ekspor suatu negara akan membawa keuntungan yaitu kenaikan pendapatan, kenaikan devisa, transfer modal dan makin banyaknya kesempatan kerja. Demikian pula meningkatnya impor suatu negara akan memberikan lebih banyak alternatif barang-barang yang dapat dikonsumsi dan terpenuhinya kebutuhan bahan-bahan baku penolong serta barang modal untuk kebutuhan industri di negara-negara tersebut dan transfer teknologi. Perdagangan internasional akan terjadi pada suatu perbandingan harga tertentu yaitu antara harga ekspor dan harga impor yang sering disebut nilai tukar perdagangan (terms of trade, TOT). Nilai tukar perdagangan besar sekali pengaruhnya terhadap kesejahteraan suatu bangsa dan juga sebagai pengukur posisi perdagangan luar negeri suatu bangsa. TOT yang disimbolkan dengan N dihitung sebagai perbandingan antara indeks harga ekspor (Px) dengan indeks harga impor (Pm) atau N = Px/Pm (Nopirin 1992: 71). Kenaikan N menunjukkan perbaikan di dalam Terms of Trade. Perbaikan terms of trade ini dapat timbul sebagai akibat nilai perubahan harga ekspor yang lebih besar realatif terhadap harga impor. Perbaikan terms of trade akan meningkatkan pendapatan negara tersebut dari perdagangan demikian sebaliknya. Selain mempengaruhi pendapatan negara, pergerakan TOT juga mempengaruhi nilai tukar riil, (Mankiw, 2000: 195). Upaya untuk mengatasi pengaruh memburuknya terms of trade terhadap nilai tukar ini dapat menggunakan cadangan devisa (international reserves) yang dimiliki negara yang bersangkutan. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Aizenman and Crichton (2006), menyebutkan bahwa negara-negara yang mengekspor barang ­barang sumberdaya alam memiliki volatilitas terms of trade yang 3 kali lebih volatil dibandingkan negara-negara yang mengekspor barang manufaktur. Selain besaran pergerakan TOT, volatilitas ini juga mempengaruhi nilai tukar riil suatu negara Pada dasarnya international reserves berfungsi sebagai buffer stock untuk berjaga-jaga guna menghadapi ketidakpastian keadaan yang akan datang. Sehingga, apabila terjadi depresiasi nilai tukar riil akibat memburuknya terms of trade maka disitulah international reserves berfungsi sebagai penstabil. Perbaikan terms of trade akan meningkatkan aliran modal masuk sehingga akan kembali mendorong apresiasi nilai tukar riil. Seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Rajan dan Siregar (2004), diperoleh bahwa reserves merupakan kunci utama dari suatu negara untuk dapat menghindari krisis ekonomi dan keuangan. Terutama bagi negara-negara dengan perekonomian yang terbuka dimana aliran modal internasional adalah volatil atau rentan terhadap terjadinya shock yang merambat dari negara lain (contagion effect). Bahwa dengan melihat pengalaman krisis yang terjadi pada tahun 1997, negara yang memiliki reserves yang besar dapat menghindari contagion effect dari krisis dengan lebih baik dibandingkan dengan negara yang memiliki reserves yang kecil. Upaya untuk mengatasi gejolak nilai tukar akibat terms of trade shock selain dengan international reserves juga dapat diatasi dengan mengukur financial deepening (kedalaman sektor keuangan) suatu negara. Financial deepening diukur melalui rasio M2 dibagi GDP (Gross Domestic Product). Penggunaan rasio ini dikarenakan merupakan rasio paling umum yang digunakan untuk mengukur perkembangan sektor keuangan suatu negara. Hasil rasio ini akan menunjukkan rasio penggunaan M2 untuk menghasilkan setiap GDP. Semakin kecil dalam rasio tersebut menunjukkan semakin dangkal sektor keuangan suatu negara dan semakin besar rasio tersebut menunjukkan sektor keuangan negara tersebut semakin dalam. Suatu negara dengan rasio financial deepening yang besar cederung mengurangi peran international reserves sebagai penstabil nilai tukar riil. Hal ini dikarenakan negara dengan rasio financial deepening yang besar dapat dikatakan telah memiliki pertumbuhan ekonomi yang sudah baik sehingga negara tersebut dapat mengatasi gejolak nilai tukar akibat terms of trade shock dengan penyesuaian otomatis melalui mekanisme pasar, Aizenman dan Crichton (2006). Karakteristik Indonesia sebagai à ¢Ã‹â€ Ã¢â‚¬  small open economyà ¢Ã‹â€ Ã¢â‚¬   yang menganut sistem devisa bebas dan sistem nilai tukar mengambang (free floating) menyebabkan pergerakan nilai tukar di pasar rentan oleh pengaruh faktor ekonomi dan non-ekonomi. Untuk mengurangi gejolak nilai tukar yang berlebihan maka pelaksanaan intervensi menjadi sangat penting terutama untuk menjaga stabilitas nilai tukar pada saat tertentu yang benar-benar dibutuhkan agar dapat memberikan kepastian bagi dunia usaha. Salah satu bentuk intervensi itu adalah dengan menggunakan international reserves dan ini sejalan dengan argumentasi Aizenman,dkk (2004) bahwa suatu negara yang menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas akan cenderung mengurangi permintaan international reserves-nya. Di Indonesia, Bank Indonesia sejauh ini berupaya untuk mengoptimalkan berbagai fasilitas atau insentif agar semakin banyak eksportir yang bersedia menyerahkan devisa hasil ekspornya ke Bank Indonesia (Goeltom dan Zulverdi, 1998). Bahkan dalam masa krisis pasar modal global 2008 ini, Bank Indonesia mewajibkan pengguna valas untuk melaporkan peruntukannya jika melebihi US$10.000 per bulan. Permasalahan mendasar yang diangkat dalam penelitian ini diantaranya: 1) Bagaimanakah pengaruh international reserves dalam perannya sebagai penstabil nilai tukar riil akibat terms of trade shock. 2) Bagaimanakah pengaruh financial deepening dalam perannya sebagai penstabil nilai tukar riil akibat terms of trade shock. Kedua permasalahan tersebut akan dibahas bagaimanakah pengaruhnya di keseluruhan obyek penelitian dan juga secara spesifik setiap Negara untuk memperoleh perbandingan antar Negara, khususnya antara Indonesia dengan Negara-negara mitra dagang utama (Amerika serikat, Jepang, Singapura, Korea Selatan dan Hongkong). II. TEORI II.1. International Reserves ≈The need of a central bank for international reserves is similar to an individual »s desire to hold cash balances (currency and checkable deposits)à ¢Ã‹â€ Ã¢â‚¬   (Carbaugh, 2004: 513). Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa kebutuhan international reserves bagi suatu negara mempunyai tujuan dan manfaat seperti halnya manfaat kekayaan bagi suatu individu. Motif kepemilikan international reserves dapat disamakan dengan motif seseorang untuk memegang uang yaitu untuk motif transaksi, motif berjaga-jaga dan motif spekulasi. Motif transaksi antara lain untuk membiayai transaksi impor yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mendukung proses pembangunan, motif berjaga-jaga berkaitan dengan mengelola nilai tukar, serta motif yang ketiga adalah untuk lebih memenuhi kebutuhan diversifikasi kekayaan (memperoleh return dari kegiatan investasi dengan international reserves (Gandhi, 2006: 1). Jhingan (2001) menyatakan bahwa ≈International liquidity (generally used as a synonym for international reserves) is defined as the aggregate stock of internally acceptable assets held by the central bank to settle a deficit in a country »s balance of payments. International reserves merupakan asset dari bank sentral yang dipergunakan untuk mengatasi ketidakseimbangan neraca pembayaran. Definisi tersebut senada dengan konsep International Reserves and Foreign Currency Lliquidity (IRFCL) yang dikeluarkan oleh IMF bahwa international reserves didefinisikan sebagai seluruh aktiva luar negeri yang dikuasai oleh otoritas moneter dan dapat digunakan setiap waktu guna membiayai ketidakseimbangan neraca pembayaran atau dalam rangka stabilitas moneter 3. 3 Guidelines for International Reserves and Foreign Currency Liquidity, IMF, 2001. Sedangkan menurut Salvatore (1996: 513), bahwa international reserves merupakan asset-asset likuid dan berharga tinggi yang dimiliki suatu negara yang nilainya diakui atau diterima oleh masyarakat internasional dan dapat dipakai sebagai alat-alat pembayaran yang sah bagi pemerintah atau negara yang merupakan pemiliknya dalam mengadakan transaksi-transaksi atau pembayaran internasional. Selain untuk tujuan stabilisasi nilai tukar, terkait dengan neraca pembayaran international reserves dapat digunakan untuk membiayai impor dan membayar kewajiban luar negeri. Besar kecilnya akumulasi international reserves suatu negara biasanya ditentukan oleh kegiatan perdagangan (ekspor dan impor) serta arus modal negara tersebut. Kecukupan international reserves ditentukan oleh besarnya kebutuhan impor dan sistem nilai tukar yang digunakan. Dalam sistem nilai tukar yang mengambang bebas, fungsi international reserves adalah untuk menjaga stabilitas nilai tukar hanya terbatas pada tindakan untuk mengurangi fluktuasi nilai tukar yang terlalu tajam. Oleh karena itu, international reserves yang dibutuhkan tidak perlu sebesar international reserves yang dibutuhkan apabila negara tersebut mengadopsi sistem nilai tukar tetap. Wujud utama dari international reserves adalah emas, hard currencies yang pada umumnya dalam bentuk empat jenis mata uang utama yang dianggap paling berpengaruh di dunia, yaitu: US dollar, Euro, Poundsterling dan Yen serta surat-surat berharga terbitan IMF yang biasa disebut sebagai Special Drawing Rights (SDRs). Penjelasan lebih rinci mengenai komponen international reserves sebagaimana dijelaskan oleh Gandhi (2006: 4). Berkaitan dengan sifat dari rezim nilai tukar (sistem nilai tukar tetap, mengambang dan mengambang terkendali) di negara yang menganut sistem nilai tukar tetap pada umumnya memerlukan international reserves yang besar untuk mempertahankan nilai tukar pada level yang ditetapkan. Hal ini dikarenakan oleh ketakutan negara itu akan ketidakpastian dalam sistem nilai tukar mengambang bebas yang diterapkannya. Sehingga, sebagai upaya untuk berjaga√jaga dalam menghadapi fluktuasi nilai tukarnya otoritas moneter negara tersebut membutuhkan international reserves dalam jumlah yang dianggap memadai guna stabilisasi nilai tukar. Pada sistem nilai tukar mengambang, terjadinya pergerakan nilai tukar dapat diatasi sendiri oleh mekanisme pasar, sehingga jumlah international reserves yang dibutuhkan tidak sebanyak yang dibutuhkan oleh suatu negara dengan sistem nilai tukar tetap yang rigid. Menurut Carbaugh (2004: 516), tujuan utama dari international reserves adalah untuk memfasilitasi pemerintah dalam melakukan intervensi pasar sebagai upaya untuk menstabilkan nilai tukar. Sehingga, suatu negara dengan aktivitas stabilisasi yang aktif memerlukan jumlah international reserves yang besar pula. Keterbukaan perekonomian suatu negara tercermin dengan semakin besarnya transaksi perdagangan dan aliran modal antar negara. Semakin terbuka perekonomian suatu negara kebutuhan international reserves-nya cenderung semakin besar guna membiayai transaksi perdagangan. Parameter yang biasa dipakai untuk mengukur kecukupan international reserves sehubungan dengan transaksi perdagangan antar negara adalah marginal propensity to import. Semakin besar angka propensity tersebut menunjukkan semakin besarnya kebutuhan international reserves yang harus dimiliki dan semakin kecil angka propensity tersebut menunjukkan semakin kecilnya kebutuhan international reserves yang harus dimiliki (Gandhi, 2006: 11). Dengan tersedianya international reserves yang mencukupi maka apabila suatu negara mengahadapi kondisi terms of trade yang buruk yang kemudian akan berpengaruh pada nilai tukar riilnya maka international reserves dapat berperan sebagai absorber. II.2. Nilai Tukar Perdagangan (Terms of Trade) Terdapat beberapa konsep tentang TOT. Konsep pertama merupakan konsep yang paling umum digunakan, yaitu net barter terms of trade atau juga dapat disebut commodity terms of trade. Net barter terms of trade adalah perbandingan antara indeks harga ekspor dengan indeks harga impor. Kenaikan ekspor menunjukkan perbaikan di dalam nilai tukar perdagangan, artinya untuk sejumlah tertentu ekspor dapat diperoleh jumlah impor yang lebih banyak dengan melalui hubungan harga (Nopirin, 1995: 71). Forumulasinya dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut: (III.1) Dimana, Px adalah Indeks harga ekspor; Pm adalah Indeks harga impor; dan 100 adalah Indeks tahun dasar. Bila N >100 atau terjadi kenaikan net barter terms of trade maka berarti terjadi perkembangan perdagangan luar negeri yang positif karena dengan nilai ekspor tertentu diperoleh nilai impor yang lebih besar (Hady, 2001:77). Konsep kedua adalah gross barter terms of trade, merupakan perbandingan antara indeks volume impor dengan indeks volume ekspor. Konsep ini menjadi tidak penting karena kurang memberikan gambaran tentang perubahan harga. Oleh karena itu, apabila konsep terms of trade tanpa diberi penjelasan apa-apa maka yang dimaksud adalah konsep net barter terms of trade. Konsep ketiga adalah income terms of trade yang dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut : (III.2) Dimana: N adalah net barter terms of trade; Px adalah Indeks harga ekspor; Pm adalah Indeks harga impor; dan Qx adalah Indeks kuantitas ekspor. Berdasarkan konsep ini, kenaikan income terms of trade menunjukkan bahwa suatu negara dapat memperoleh jumlah impor yang lebih besar dengan dasar kenaikan nilai ekspornya. Bagi negara-negara yang sedang berkembang, selain variabel harga juga sangat penting untuk menilai terms of trade ini dengan mempertimbangkan volume ekspornya karena kenaikan harga ekspor yang tinggi mungkin diimbangi dengan turunnya volume ekspor. Perbaikan TOT dapat timbul sebagai akibat: (1) harga ekspor naik sedang harga impor tetap; (2) harga ekspor tetap sedang harga impor turun; (3) harga ekspor naik dengan proporsi yang lebih besar daripada naiknya harga impor; (4) harga ekspor turun dengan proporsi yang lebih kecil daripada turunnya harga impor. Mekanisme bagaimana TOT dapat berpengaruh pada nilai tukar riil adalah dapat dilihat dari sebuah mekanisme sederhana yaitu perbaikan TOT akan meningkatkan aliran modal masuk yang berasal dari perdagangan yang selanjutnya dapat mengapresiasi nilai tukar riil dan sebaliknya. Memburuknya TOT akan mengakibatkan permintaan valuta asing meningkat sehingga akan mendepresiasi nilai tukar riil. Terkait dengan jenis produksi yang diperdagangkan, maka secara umum nilai tukar perdagangan komoditi (commodity terms of trade atau net barter terms of trade) negara ­negara berkembang cenderung mengalami kemerosotan dari waktu ke waktu. Salah satu penyebab utamanya adalah sebagian besar atau bahkan semua kenaikan produktivitas yang terjadi di negara-negara maju dialirkan ke para pekerjanya dalam bentuk upah dan pendapatan yang lebih tinggi, sedangkan sebagian besar atau seluruh kenaikan produktivitas yang berlangsung di negara-negara berkembang diwujudkan sebagai harga-harga produk yang lebih murah (Salvatore, 1996 : 431). II.3. Nilai Tukar Riil (Real Exchange Rate) dan Pasar Valas Setiap negara memiliki sebuah mata uang yang menunjukkan harga-harga barang dan jasa. Pengertian nilai tukar valuta asing adalah ≈Exchange rate is the price of one nation »s money in terms of another nation »s money.à ¢Ã‹â€ Ã¢â‚¬   ≈The nominal exchange rate is usually called the exchange rateà ¢Ã‹â€ Ã¢â‚¬  . Menurut definisi tersebut nilai tukar diartikan sebagai harga suatu mata uang terhadap mata uang negara lain. Nilai tukar nominal biasa disebut nilai tukar (exchange rate) (Pugel, 2004). Menurut Mankiw, nilai tukar nominal adalah harga relatif dimana seseorang dapat memperdagangkan mata uang suatu negara dengan mata uang lainnya (Mankiw, 2000: 200). Dengan menggunakan suatu indeks harga untuk Indonesia (P), sebuah indeks harga untuk harga-harga di luar negeri (P*) dan nilai tukar nominal antara rupiah dengan mata uang asing (e), akan dapat diukur nilai tukar riil keseluruhan antara Indonesia dengan negara-negara lain sebagai berikut : Nilai Tukar Riil = (e x P) / P* (III.3) Terdapat paling tidak 3 faktor utama yang mempengaruhi permintaan valuta asing. Pertama, faktor pembayaran impor. Semakin tinggi impor barang dan jasa, maka semakin besar permintaan terhadap valuta asing sehingga nilai tukar akan cenderung melemah. Kedua, faktor aliran modal keluar (capital outflow). Semakin besar aliran modal keluar, maka semakin besar permintaan valuta asing dan pada kelanjutannya akan memperlemah nilai tukar. Aliran modal keluar meliputi pembayaran hutang penduduk Indonesia (baik swasta dan pemerintah) kepada pihak asing dan penempatan dana penduduk Indonesia ke luar negeri. Ketiga , kegiatan spekulasi. Semakin banyak kegiatan spekulasi valuta asing yang dilakukan oleh spekulan, maka semakin besar permintaan terhadap valuta asing sehingga memperlemah nilai tukar mata uang lokal terhadap mata uang asing. Sementara itu, penawaran valuta asing dipengaruhi oleh dua faktor utama. Pertama, faktor penerimaan hasil ekspor. Semakin besar volume penerimaan ekspor barang dan jasa, maka semakin besar jumlah valuta asing yang dimiliki oleh suatu negara dan pada lanjutannya nilai tukar terhadap mata uang asing cenderung menguat atau apresiasi. Kedua, faktor aliran modal masuk (capital inflow). Semakin besar aliran modal masuk, maka nilai tukar akan cenderung semakin menguat. Aliran modal masuk tersebut dapat berupa penerimaan hutang luar negeri, penempatan dana jangka pendek oleh pihak asing (portofolio investment) dan investasi langsung pihak asing (foreign direct investment) (Simorangkir dan Suseno, 2004: 6). II.4. Financial Deepening Ukuran dari perkembangan intermediasi keuangan biasanya digunakan pengukuran indikator melalui kuantitas, kualitas, dan efisiensi dari jasa intermediasi keuangan (Calderon, 2002:5). Terdapat beberapa indikator untuk mengetahui seberapa besar tingkat perkembangan sektor keuangan salah satu diantaranya adalah rasio antara aset keuangan dalam negeri terhadap GDP (Muklis, 2005: 2). Menurut King dan Levine (1993), ≈Financial deepening means an increase in the money supply of financial assets in the economy, it is important to develop some measures of the widest range of financial assets, including money.à ¢Ã‹â€ Ã¢â‚¬   Selain itu, King dan Levine merancang 4 ukuran dalam perhitungan perkembangan sektor keuangan. Pertama, ukuran dari kedalaman sektor keuangan adalah rasio dari kewajiban lancar (liquid liabilities) dari sistem keuangan terhadap GDP. Kewajiban lancar dalam hal ini adalah M3, namun apabila M3 tidak bisa didapatkan maka digunakan M2. Hal ini sejalan dengan IMF dalam database International Financial Statistic dan juga Slangor (1991:11). Kedua , adalah rasio dari deposit money bank domestic asset dibagi dengan deposit money bank domestic asset ditambah dengan central bank domestic asset yang menggambarkan institusi keuangan yang lebih spesifik. Ketiga , rasio kredit dari sektor swasta non keuangan dibagi dengan total kredit domestik. Keempat, adalah rasio kredit sektor swasta non-keuangan dibagi dengan GDP. Dua yang terakhir ini menggambarkan ukuran kuangan sektor dan tingkat pinjaman publik (King dan Levine, 1993: 4). Penggunaan rasio M2 terhadap GDP sebagai indikator financial deepening juga dibenarkan oleh King dan Levine, (1993: 5). Semakin kecil rasio tersebut maka semakin dangkal sektor keuangan suatu negara. Suatu negara dikatakan memiliki sektor keuangan yang dalam apabila M2 > 20% dari GDP dan dangkal apabila M2 III. METODOLOGI Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan merupakan data panel, mencakup periode 2000:Q1 2006:Q4 dan 6 negara yakni Indonesia dan 5 negara mitra dagang utamanya yaitu; Amerika Serikat, Jepang, Hongkong, Singapura dan Korea Selatan. Sumber utama data berasal dari International Financial Statistic yang diterbitkan oleh IMF. Teknik estimasi data panel digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh international reserves yang digunakan dalam rangka stabilisasi nilai tukar akibat terms of trade shock. Selain itu model ini juga diperunakan untuk melihat bagaimana peran financial deepening suatu negara dalam stabilisasi nilai tukar ini. Model persamaan yang diestimasi, dikembangkan dari penelitian (Aizenman dan Crichton, 2006), yakni: 1. Model international reserves mitigation terms : (III.4) 2. Model financial deepening mitigation terms : Dimana : RER adalah nilai tukar riil (Real Exchange Rate); ETOT adalah efektifitas nilai tukar perdagangan yang dinilai dari keterbukaan perdagangan (Trade Openness) yang dikalikan dengan nilai tukar perdagangan (Terms of Trade); RES adalah cadangan internasional (International reserves); FD adalah kedalaman sektor keuangan (Financial Deepening); i adalah crossection indentification; t adalah time series identification; ÃŽ µit adalah Koefisien pengganggu (error terms) 4. Varian pertama dari teknik estimasi data panel adalah pendekatan pooled least square (PLS) yang secara sederhana menggabungkan seluruh data time series dan cross section dan kemudian mengestimasi model dengan menggunakan metode ordinary least square (OLS) 5. Pendekatan kedua adalah fixed effect model (FEM) yang memperhitungkan kemungkinan perbedaan intercept antar individu yang ditunjukkan dengan kehadiran ÃŽ ±i pada persamaan (III.6). Secara teknis, model dengan fixed effect menambahkan dummy variables sebanyak N-1 buah ketika terdapat N individu. Pendekatan ketiga adalah random effect model (REM) yang dapat memperbaiki efisiensi proses least square dengan memperhitungkan error dari time series dan cross section. Berbeda dengan FEM, model REM memperlakukan intercept sebagai random variable dengan rata-rata ÃŽ ± dengan stokastik terms ÃŽ µit. Model random effect adalah variasi dari estimasi generalized least square (GLS). Model data panel untuk masing-masing varian teknik tersebut adalah sebagai berikut (Gujarati, 2003: 640): a. Pooled Least Square (III.6) b. Fixed Effect (III.7) c. Random Effect (III.8) Pada dasarnya penggunaan metode data panel memiliki beberapa keunggulan (Widarjono, 2005: 254). Pertama , panel data mampu memperhitungkan heterogenitas individu secara eksplisit dengan mengijinkan variabel spesifik individu. Kemampuan mengontrol heterogenitas 4 Definisi operasional variabel lebih detail dapat dilihat dilampiran IV.A. 5 Lihat: Baltagi, 2002 ; Gujarati, 2003 ; Maddala ; 1993 ; Pindyck dan Rubinfeld, 1998. individu ini pada gilirannya menjadikan data panel dapat digunakan untuk menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks. Kedua, jika efek spesifik signifikan berkorelasi dengan variabel penjelas lainnya, penggunaan panel data akan mengurangi masalah omitted variables secara substansial. Ketiga , data panel mendasarkan diri pada observasi cross section yang berulang-ulang (time series), sehingga metode data panel cocok untuk digunakan sebagai study of dynamic adjustment. Keempat, tingginya jumlah observasi memiliki implikasi pada data yang lebih informatif, lebih variatif, kolinearitas antar variabel yang semakin berkurang dan peningkatan derajat kebebasan (degree of freedom), sehingga dapat diperoleh hasil estimasi yang lebih efisien. Kelima, data panel dapat digunakan untuk mempelajari model-model perilaku yang kompleks. Keenam, data panel dapat meminimalisir bias yang mungkin ditimbulkan oleh agregasi data individu. Keunggulan-keunggulan tersebut diatas memiliki implikasi pada tidak diperlukannya pengujian asumsi klasik dalam model data panel, sesuai apa yang ada dalam beberapa literatur yang digunakan dalam penelitian ini6. Dalam estimasi selanjutnya sebagai persyaratan estimasi regresi data panel, perlu di pilih penggunaan antara pooled least square, random effect model atau fixed effect model. Ketiga model tersebut akan berbeda dalam intrepetasi selanjutnya sehingga perlu dilakukan pemilihan model untuk memperoleh estimasi yang efisien sesuai dengan penggunaan regresi data panel. Pertama uji statistik F digunakan untuk memilih antara metode PLS tanpa variabel dummy atau memilih Fixed Effect. Kedua uji Lagrange Multiplier (LM) digunakan untuk memilih antara OLS tanpa variabel dummy atau memilih Random Effect. Terakhir , untuk memilih antara Fixed Effect Model (FEM) atau Random Effect Model (REM) digunakan uji yang dikemukakan oleh Hausman. Jika data time series lebih besar dibandingkan data cross section maka teknik efek acak (REM) kurang tepat atau tidak dapat dipakai untuk mengestimasi suatu model (Telisa, 2004:30)7. Dalam model penelitian ini teknik Random Effect Model (REM) tidak dapat digunakan, karena pada penelitian ini jumlah time series (28 time series) lebih besar dibandingkan dengan jumlah cross section (6 cross section). Oleh sebab itu pemilihan teknik estimasi dalam penelitian ini hanya memilih diantara dua teknik estimasi yaitu PLS (Pooled Least Square) atau FEM (Fixed Effect Model). Hasil pengujian menyarankan penggunaan Model Fixed Effect (Unrestricted) dalam penelitian ini. 6 Lihat: Maddala, 1998; Pindyck Rubinfeld, 1991; Greene, 2003; Gujarati, 2003; Widarjono, 2005. 7 Ibid IV. HASIL DAN ANALISA IV.1. Model International Reserves Mitigation Terms Berdasarkan hasil pengolahan data dalam tabel III.1. koefisien determsinasi model International Reserves Mitigation Terms untuk keseluruhan negara adalah sebesar 0.999602 sedangkan untuk estimasi spesifik masing-masing negara adalah sebesar 0.999845. Artinya variasi variabel independen dalam model tersebut mampu menjelaskan variasi dari variabel dependen kedua model tersebut masing-masing sebesar 99,96% dan 99,98%. Secara simultan, variabel-variabel yang digunakan dalam estimasi keseluruhan maupun estimasi spesifik memiliki pengaruh yang signifikan, kondisi tersebut dapat diketahui dari nilai Fyang masing-masing sebesar 57441.05 dan 57032.28. Nilai tersebut melebihi nilai kritis yang dipersyaratkan sesuai dengan F-tabel hingga taraf signifikansi 1%. Dengan demikian nilai F> Fyang berarti H ditolak. Secara parsial sebagaimana terdapat dalam tabel dibawah menunjukkan pengaruh masing-masing variabel bebas yang signifikan terhadap variabel nilai tukar riil (variabel dependen) pada estimasi secara keseluruhan. Namun untuk estimasi spesifik masing-masing negara hanya variabel effective terms of trade Indonesia, reserves mitigation terms Indonesia, Korea dan Amerika yang signifikan secara statistik mempengaruhi vriabel real exchange rate. Sumber: Hasil pengolahan Keterangan: * = Signifikan 1%; **=Signifikan 5%. Dari estimasi secara keseluruhan dalam tabel diatas terlihat bahwa pengaruh effective terms of trade (ETOT) terhadap real exchange rate (RER) adalah positif. Temuan empiris ini tidak sesuai dengan teori yang digunakan dalam penelitian, yaitu diharapkan bernilai negatif. Dengan asumsi bahwa peningkatan real exchange rate merupakan depresiasi nilai tukar domestik atau apresiasi nilai tukar mitra dagang, maka peningkatan pada effective terms of trade suatu negara terhadap negara-negara mitra dagangnya cenderung meningkatkan (depresiasi) real exchange rate. Rata-rata effective terms of trade keseluruhan negara obyek penelitian adalah 1,82, dengan perubahan pada real exchange rate rata-rata apresiasi sebesar 0,04%. Berdasarkan hasil estimasi menunjukkan bahwa elastisitas real exchange rate terhadap effective terms of trade shock ialah kenaikan effective terms of trade sebesar 1% mempengaruhi real exchange rate sebesar 0.28%. Dapat diartikan bahwa perbaikan effective terms of trade akan menyebabkan mata uang luar negeri mengalami apresiasi terhadap mata uang dalam negeri. Kondisi demikian menggambarkan bahwa keterbukaan perdagangan memiliki sisi negatif yaitu kecenderungan untuk melemahkan nilai tukar suatu negara ketika terjadi penurunan kinerja perekonomian negara mitra dagang tersebut dan dengan dukungan trade openness dan effective terms of trade yang semakin meningkat. Kondisi ini secara aktual dapat digambarkan pada resesi global pada saat ini yang hampir tidak sedikitpun negara yang menuai imbas negatif. Hampir seluruh perekonomian dunia termasuk nilai tukarnya cenderung terdepresiasi dan perekonomian berjalan lambat. Ketidaksesuaian hasil ini dimungkinkan juga dikarenakan kekuatan pasar yang mempengaruhi fluktuasi nilai tukar. Aliran modal jangka pendek, aliran keuangan internasional baik dari pemerintah maupun swasta yang erat kaitannya dengan keterbukaan perekonomian suatu negara memungkinkan berpengaruh pada nilai tukar riil. Besaran (magnitude) effective terms of trade dalam mempengaruhi pasar nilai tukar dapat dikatakan terlalu kecil jika dibandingkan dengan varabel-variabel lain yang berkaitan dengan nilai tukar. Berdasarkan hasil estimasi dapat dikemukakan bahwa peningkatan atau perbaikan pada effective terms of trade suatu negara berdampak pada peningkatan (apresiasi) nilai tukar riil negara lain sebagai mitra dagang utamanya atau penurunan (depresiasi) nilai tukar pada negaranya sendiri. Dapat dikatakan pula bahwa perbaikan yang terjadi pada effective terms of trade suatu negara menguntungkan negara mitra dagangnya dari sisi nilai tukar, namun tidak untuk negaranya sendiri. Hal ini merupakan efek negatif keterbuk

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.